STIGMATISASI DALAM PEMBERITAAN KORBAN COVID-19
Ninditya Dezahra Bhayangkari
2018041087 KOM A Respon Paper
Stigmatisasi dalam Pemberitaan Korban COVID-19 pada Media Line Today
------
LATAR BELAKANG
Pada tahun 2020 ini, banyak sekali peristiwa yang menggemparkan terjadi di Indonesia maupun mancanegara, mulai dari peristiwa banjir di awal tahun yang menyerang kota – kota besar di Indonesia, banyaknya ancaman perang yang sering terdengar, hingga munculnya penyakit virus mematikan COVID-19 atau Corona yang terjadi hampir di seluruh dunia. Sebuah virus mematikan muncul di pertengahan tahun 2020 yang menjangkit hampir 215 negara di dunia termasuk Indonesia, virus ini bernama COVID-19 atau Corona (Covid19.go.id, 2020). Pandemi COVID-19 yang saat ini masih berlangsung di hampir seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia, merupakan pandemi yang memiliki dampak global yang cukup besar (Covid19.kemkes.go.id, 2020). Nama COVID-19 ini berasal dari singkatan Corona Virus Disease atau masyarakat dunia menyebutnya dengan sebutan Corona.
Pada awalnya virus yang kemudian menjadi wabah ini ditemukan di Wuhan, China pada Desember 2019 dan termasuk penyakit menular yang baru (Budiansyah, 2020). Virus ini ditemukan pada manusia dan hewan, proses penyebarannya pun melalui tetesan cairan dari mulut dan hidung yang terinfeksi batuk atau bersin. Gejala yang ditimbulkan oleh virus ini berupa demam tinggi, batuk, dan napas yang pendek serta dapat menyerang system pernapasan paru – paru yang terjadi secara bertahap. Menurut The Center for Disease Control and Prevention atau CDC, pasien yang terjangkit virus Corona ini akan mengalami gejala – gejala yang telah disebutkan sebelumnya dari 2 sampai 14 hari setelah terpapar virus. Berbagai cara sudah dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat untuk memutus rantai penyebaran virus dengan cara tetap berdiam diri di dalam rumah, rajin mencuci tangan, menggunakan masker dan sarung tangan jika ingin keluar rumah, bahkan memberlakukan kerja dan sekolah dari rumah. Namun, tetap saja tidak mudah memutus mata rantai penyebaran virus yang sampai saat ini pun masih di cari tahu vaksinnya. Akibat dari virus ini banyak sekali korban yang berjatuhan dan di Indonesia sendiri sudah melebihi 10.000 jiwa yang terjangkit virus COVID-19 ini.
Perubahan pada berbagai aspek terkait dampak dari pandemi ini turut mengubah perilaku masyarakat, termasuk dalam hal cara pandang antarsesama manusia. Karena pandemi ini banyak melahirkan stigma negatif terhadap pasien penderita COVID-19 maupun garda terdepan seperti tenaga kesehatan atau dokter yang di cap sebagai pembawa petaka atau penyebar virus. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh World Health Organization atau WHO menyatakan bahwa stigmatisasi pada pasien penyakit tertentu dapat menimbulkan berbagai dampak negative pada pasien. Dampak yang ditimbulkan dapat berupa isolasi sosial, depresi, bahkan kehilangan akses hak hidup dan tinggal (Kompas.com, 2020). Banyak masyarakat yang takut akan hal tersebut di tambah pemberitaan yang kurang mengenakan menyangkut para korban yang justru menyudutkan mereka.
Kejadian yang terjadi akhir – akhir ini menimbulkan keresahan bagi masyarakat seperti pengusiran yang dialami oleh perawat yang menangani pasien terinfeksi COVID-19 dari tempat kosnya hingga seorang warga yang diusir dari kosannya setelah mengikuti tes COVID19. Hal ini bisa disebut sebagai fenomena stereotip yaitu stigma yang berbentuk penilaian secara umum kepada seseorang atau sekelompok orang yang hanya dilihat dari latar belakang maupun penampilannya saja. Cara pandang stereotip ini bisa menimbulkan prasangka yang negative walaupun ada juga yang menimbulkan stigma positif, bahkan bisa menimbulkan sikap diskriminasi. Kejadian semacam ini dapat menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Masyarakat yang pro akan kejadian ini menilai stigmatisasi dan perilaku diskriminasi yang ditunjukkan adalah hal manusiawi sebagai bentuk perilindungan warga atas lingkungan tempat tinggalnya. Sedangkan untuk masyarakat yang kontra justru hal ini dianggap tidak baik bukannya mendukung dan menenangkan para korban yang terjadi malah menimbulkan perasaan takut dan cemas bagi para korban.
Dalam penulisan ini terdapat contoh kasus pemberitaan mengenai stigmatisasi negatif yang dialami oleh seorang perempuan yang diusir dari tempat kostnya setelah mengikuti tes COVID-19. Serta satu pemberitaan yang menunjukkan kalau masih ada stigma positif yang dihadirkan oleh media mengenai kasus yang dialami oleh keluarga PDP (Pasien dalam Pengawasan) COVID-19 di Bogor. Penulisan ini akan menganalisa stigmatisasi masyarakat melalui kasus pemberitaan dengan media sebagai wadah dalam memberikan informasi.
Dalam penulisan ini terdapat contoh kasus pemberitaan mengenai stigmatisasi negatif yang dialami oleh seorang perempuan yang diusir dari tempat kostnya setelah mengikuti tes COVID-19. Serta satu pemberitaan yang menunjukkan kalau masih ada stigma positif yang dihadirkan oleh media mengenai kasus yang dialami oleh keluarga PDP (Pasien dalam Pengawasan) COVID-19 di Bogor. Penulisan ini akan menganalisa stigmatisasi masyarakat melalui kasus pemberitaan dengan media sebagai wadah dalam memberikan informasi.
PEMBAHASAN
Pada pembahasan ini akan lebih membahas stigmatisasi dalam bentuk stereotip maupun prasangka yang menimbulkan dampak negative pengucilan yang mana mempengaruhi etika seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Fokus persoalan penulisan ini yaitu terletak pada stigmatisasi yang dilahirkan oleh masyarakat terkait pandemi COVID-19 di Indonesia disertai beberapa contoh kasus yang positif maupun negative. Stigma sosial yang dihadirkan biasanya cenderung negative yang melekat pada seseorang kemudian ditolak keberadaannya di lingkungannya. Stigma menurut KBBI adalah ciri negative yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya. Sementara sosial itu berkaitan dengan masyarakatnya.
Etika dapat diartikan sebagai nilai – nilai atau norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Etika dibedakan dalam tiga pengertian pokok, yaitu ilmu tentang apa yang baik dan kewajiban moral, kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, dan nilai mengenai benar dan salah. Etika mempersoalkan bagaimana manusia seharusnya berbuat atau bertindak. Etika menolong manusia untuk mengambil sikap terhadap semua norma dari luar dan dari dalam, supaya manusia mencapai kesadaran moral yang otonom. Wacana etika melibatkan perilaku dan system nilai etis yang dipunyai oleh setiap individu atau kolektif masyarakat. Wacana etika mempunyai unsur – unsur pokok, yaitu kebebasan, tanggung jawab, hati nurani, dan prinsip - prinsip moral dasar. (Mufid, 2009)
Stereotip menurut Muhamad Mufid dalam buku Etika dan Filsafat Komunikasi adalah sebuah pandangan atau cara pandang terhadap suatu kelompok sosial dimana cara pandang tersebut lalu digunakan pada setiap anggota kelompok tersebut (Mufid, 2009). Sedangkan menurut Julia T Wood dalam buku Interpersonal Communication, stereotip adalah generalisasi prediktif yang diterapkan pada seseorang atau situasi yang berdasarkan kategori di mana kita menempatkan seseorang atau sesuatu dan bagaimana orang atau sesuatu itu mengukur terhadap konstruksi pribadi yang kita terapkan serta kita memprediksi apa yang orang akan lakukan (Wood, 2010). Stereotip memiliki fungsi sebagai mekanisme dari pertahanan diri (self-defense mechanism) untuk menyembunyikan keterbatasan atau membenarkan perasaan kita yang rapuh tentang superioritas. Stereotip dapat membawa ketidakadilan bagi siapa saja yang menjadi korban, dan jika terjadi, maka akan memunculkan pertanyaan terkait etnisitas (Mufid, 2009). Stereotip dalam etika filsafat dan komunikasi merupakan penilaian yang membentuk persepsi masyarakat terhadap seseorang atau kelompok dengan menggunakan etika komunikasi yang baik serta mencari tahu segala hal maupun fenomena mengenai orang atau kelompok tersebut (Kampusku, 2016)
Sementara itu, menurut Baron dan Byrne (2004:213) mendefinisikan prasangka sebagai sebuah sikap terhadap anggota kelompok tertentu yang semata – mata berdasarkan keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut dan biasanya sikap yang ditimbulkan cenderung negative. Prasangka ini sebagai salah satu fenomena sosial karena seseorang tidak mungkin berprasangka jika tidak mengalami kontak sosial dengan individu lain. Prasangka memiliki fungsi heuristic, yaitu langsung menilai sesuatu tanpa memprosesnya secara terperinci dalam alam pikiran kita. Gunanya agar tidak terlalu lama membuang energi dan waktu untuk sesuatu yang telah terlebih dahulu diketahui dampaknya (Sarwono, 2006:129). Prasangka juga diartikan sebagai penilaian yang tidak didasari oleh pengetahuan atau pengujian terhadap informasi yang tersedia. (Juditha, 2015)
Dalam pandemi COVID-19 yang terjadi pada tahun 2020 ini menghadirkan stigmatisasi terhadap pasien maupun garda terdepan. Ada beberapa alasan terjadinya stigmatisasi pada orang – orang dengan penyakit tertentu menurut Baldwin, M (2016), yaitu : (Kompas.com, 2020)
1. Responsibility Control of their illness
Penelitian yang dilakukan oleh Baldwin menunjukkan bahwa jika semakin rendah seorang pasien dapat mengendalikan kesembuhan dari penyakit yang dideritanya maka semakin tinggi kemungkinan pasien tersebut menerima stigmatisasi dan perilaku diskriminasi dari lingkungannya.
2. Uncertainty illness healing time
Factor lain mengenai tingkat kepastian tentang jangka waktu atau sebarapa lama penyakit yang diderita pasien akan sembuh.
3. Factor tidak terduga dari penyebaran penyakit
Kurangnya penelitian yang menyebabkan penyakit itu menyebar menjadi adanya stigma yang dilekatkan pada pasien.
4. Minimnya informasi masyarakat atas penyakit
Factor terakhir yang menjadikan tumbuhnya stigmatisasi dan perilaku diskriminasi maupun prasangka adalah kurangnya pengetahuan atau informasi yang di dapat oleh masyarakat mengenai penyebaran, pencegahan, maupun penyembuhan penyakit tersebut.
Berikut adalah contoh pemberitaan mengenai stigmatisasi negative dan positif :
Contoh
berita mengenai stigma negative :
1. Viral, Curhat Perempuan Diusir dari Kost Setelah Ikuti Tes COVID-19
Curhatan korban yang mengalami stigmatisasi negative dalam pandemi COVID-19.
Sumber : Diambil dari today.line.me (Line Corporation, 2020)
Seorang perempuan yang baru saja pulang dari Thailand curhat mengenai kemalangan yang diterimanya usai menjalani tes virus COVID-19. Ia cemas memikirkan apakah dirinya seorang carrier atau bukan dan ia juga peduli akan kesehatan penghuni kost lainnya di mana ia tinggal. Sehingga, ia memutuskan
untuk mengikuti tes COVID-19 namun tim kesehatan yang ingin mengecek dirinya
datang beramai – ramai dengan petugas lainnya menggunakan ambulans dan juga
kamera dengan alasan mengikuti prosedur yang ada dan justru membuat penghuni lainnya
serta pemilik tempat kost tersebut khawatir. Pemilik kost pun datang menghampiri perempuan tersebut dan timbullah adu mulut antara si ibu kost dengan perempuan tersebut. Hal ini terjadi karena sudah beredar kabar bahwa penghuni kost yang tinggal disitu positif COVID-19 yang mana maksud si ibu ini perempuan tersebut. Akhirnya, ibu kost ini memintanya untuk keluar dan pindah tempat tinggal. Merasa dirugikan, wanita tersebut menyesali prosedur tes COVID-19 dengan membawa banyak orang ke tempat tinggalnya yang menimbulkan kehebohan. Ia juga kecewa karena data orang-orang yang melakukan tes COVID-19 disebarluaskan. Berdasarkan cerita yang ia dapat dari petugas keamanan di kostnya, informasi tes tersebut telah beredar di komunitas tempat tinggalnya hingga ke berita, bahkan ada rumor tidak benar yang beredar bahwa dirinya telah dinyatakan positif padahal hasil test tersebut pun belum keluar.
Contoh berita mengenai stigma positif :
2. Bukan Diusir, Warga Perumahan Bogor Ramai – ramai Bantu Keluarga PDP Corona
Ilustrasi tangan yang saling bertumpukan sebagai penanda solidaritas
Sumber : Diambil dari today.line.me (Line Corporation, 2020)
Sebuah video di Facebook tengah viral dan sudah ditonton lebih dari 90 ribu kali. Video ini mengisahkan nasib Eka, warga perumahan Limus Pratama Regency, Bogor, Jawa Barat. Eka ditinggal suaminya yang meninggal dengan status pasien dalam pengawasan (PDP) virus korona baru COVID-19. Berarti, ia sendiri sekarang masuk dalam daftar orang dalam pengawasan (ODP). Jika di banyak tempat kerap terdengar kabar tenaga kesehatan dan ODP diusir warga, maka di Bogor ini berbeda. Dalam video yang diunggah oleh DW Indonesia, warga yang dikomando oleh Ketua RW setempat justru gotong-royong membantu kebutuhan Eka. Setiap hari mereka membantu memasok kebutuhan pokok sehari-hari dan diantarkan langsung ke rumahnya. Dalam video yang berdurasi sekitar dua menit itu, tetangga juga menyampaikan dukungan semangat buat Eka yang kini tengah mengisolasi diri.
Dalam hal ini media cukup berperan dalam membentuk stigmatisasi masyarakat mengenai orang – orang yang dirugikan dalam pandemi COVID-19. Informasi yang terus mengalir di media massa maupun media online memiliki andil dalam membentuk persepsi masyarakat terhadap garda terdepan atau orang – orang yang bersentuhan dengan virus. Pada masa pandemi ini media berbondong – bondong memberitakan mengenai COVID-19 karena memang peran media sebagai medium atau gerbang penyampai informasi bagi masyarakat yang berperan dalam pembentukan persepsi dan keputusan public. Terkait peran yang dimiliki media, media wajib melakukan control terhadap pemberitaan sebelum dilakukan publikasi (Pradhana, 2020). Dalam menjalankan peran media tersebut, para pekerja media perlu mengikuti kode etik jurnalistik dengan cara menentukan informasi mana saja yang perlu atau tidaknya diungkap ke public. Jika terkait pandemi COVID-19 ini, fungsi control sosial perlu dijalankan oleh media dengan mengkritik, memilah, dan memberikan informasi yang jelas kepada audiensnya. Meskipun media memberikan pemberitaan mengenai data jumlah kasus COVID-19 yang dapat mencemaskan masyarakat sebaiknya juga diimbangi dengan memberikan pemberitaan mengenai perjuangan garda terdepan dalam menghadapi pandemi atau perjuangan korban dalam menyembuhkan penyakit ini ataupu berita – berita yang positif mengenai COVID-19 sehingga tidak adanya stigmatisasi negative yang muncul.
Meskipun tidak sedikit media yang membagikan beritanya secara berimbang dan mengedukasi masyarakat namun masih perlu adanya peningkatan antara media, pemerintah, dan masyarakat dengan bekerja sama untuk menciptakan pemberitaan yang bisa memberikan harapan bukan ketakutan. Masyarakat juga perlu didorong dalam meningkatkan literasi dan berpikir kritis supaya mampu dalam mengolah informasi serta meningkatkan rasa empati ketimbang memunculkan stigmatisasi negative yang justru menimbulkan ketakutan bagi para siapa aja yang dirugikan. Etika pun diperlukan sebagaimana makhluk sosial yang diberikan bekal akal budi untuk mengambil sikap yang rasional terhadap kasus seperti ini. Karena etika mempersoalkan hak setiap lembaga untuk memberikan perintah atau larangan yang harus ditaati, dalam kasus ini seharusnya sebagai warna negara yang menjunjung kesatuan, masyarakat bisa saling bahu-membahu menciptakan suasana yang tenang dan membantu para korban maupun mentaati perintah yang dikeluarkan oleh pemerintah. Apa yang dilakukan masyarakat dalam menciptakan stigmatisasi negative adalah perbuatan yang salah seharusnya sebagai manusia yang beretika dapat menentukan sesuatu yang benar dan salah karena tindakan diskriminasi atau prasangka buruk tersebut dapat membuat korban menjadi was-was atau takut dan dikucilkan dari lingkungan sekitarnya.
KESIMPULAN
Stereotip dalam etika filsafat dan komunikasi merupakan penilaian yang membentuk persepsi masyarakat terhadap seseorang atau kelompok dengan menggunakan etika komunikasi yang baik serta mencari tahu segala hal maupun fenomena mengenai orang atau kelompok tersebut. Dalam hal ini karena media cukup berperan dalam membentuk stigmatisasi masyarakat mengenai orang – orang yang dirugikan dalam pandemi COVID-19, maka perlu media yang membagikan beritanya secara berimbang dan mengedukasi masyarakat untuk menciptakan pemberitaan yang bisa memberikan harapan bukan ketakutan. Pemberitaan maupun informasi yang membagikan stigma positif perlu disebarluaskan bahwa korban COVID-19 harus dibantu bukan dikucilkan maupun dihakimi oleh lingkungan sekitarnya karena kembali lagi ke budaya Indonesia yang menjunjung tinggi tolong – menolong, menegakkan kesatuan, dan saling gotong royong jika ada yang kesusahan. Harapan saya sebagai penulis untuk dunia ini semoga semakin membaik dan para korban yang terjangkit virus COVID-19 segera sembuh dan untuk masyarakat semoga dapat meningkatkan kesadarannya untuk memberikan empati serta tidak ada lagi stigmatisasi terhadap korban yang menderita penyakit apapun.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Mufid, M. (2009). Etika dan Filsafat Komunikasi . Jakarta: Pranamedia Group.
Wood, J. T. (2010). Interpersonal Communication. USA: Wadsworth
Jurnal :
Juditha, C. (2015). Stereotip dan Prasangka dalam Konflik Etnis Tionghoa dan Bugis Makassar. Jurnal Ilmu Komunikasi, 87-104.
Artikel :
Budiansyah, A. (2020, Maret 30). Mengenal Apa itu Virus Corona & Cirinya Versi WHO. Retrieved from CNBC Indonesia: https://www.cnbcindonesia.com/tech/20200330102940-37-148375/mengenal-apaitu-virus-corona-cirinya-versi-who
Kampusku. (2016, Desember 6). Stereotip dalam Etika dan FIlsafat Komunikasi. Retrieved from Rombongan Kita.blogspot: https://rombongankita.blogspot.com/2016/12/stereotip-dalam-etika-danfilsafat.html
Kompas.com. (2020, April 13). Salah Kaprah Stigmatisasi dan Diskriminasi terhadap Pasien Covid-19. Retrieved from Kompas.com: https://www.kompas.com/tren/read/2020/04/13/164454765/salah-kaprahstigmatisasi-dan-diskriminasi-terhadap-pasien-covid-19?page=2
Line Corporation. (2020, April 30). Bukan Diusir, Warga Perumahan Bogor Ramai - Ramai Bantu Keluarga PDP Corona. Retrieved from Line Today: https://today.line.me/ID/pc/article/z1PwJD?utm_source=washare
Line Corporation. (2020, Maret 26). Viral, Curhat Perempuan Diusir dari Kost Setelah Ikuti Tes COVID-19. Retrieved from Line Today: https://today.line.me/ID/pc/article/25oEWz?utm_source=washare
Pradhana, G. A. (2020, April 21). Peran media dalam mencegah stigma terhadap korban dan pekerja medis di tengah pandemi. Retrieved from The Conversation.com: https://theconversation.com/peran-media-dalam-mencegah-stigma-terhadapkorban-dan-pekerja-medis-di-tengah-pandemi-136250
Suhanda, I. (2017, September 8). Stigma Sosial, Bagaimana Mengatasinya ? Retrieved from Kompas.com: https://edukasi.kompas.com/read/2017/09/08/06270121/stigmasosial-bagaimana-mengatasinya?page=all
Sulistyawati, L. (2020, Maret 23). Jadi Korban Stigma Corona, Perawat Diusir dari Kosan. Retrieved from Republika.co.id: https://republika.co.id/berita/q7mq3f349/jadikorban-stigma-corona-perawat-diusir-dari-kosan
Comments
Post a Comment