11. STEREOTIP DALAM ETIKA DAN FILSAFAT KOMUNIKASI



Dalam membahas etika dan filsafat komunikasi juga terdapat stereotip yang biasanya identik dengan penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok di mana orang tersebut dapat dikategorikan. Dalam media massa juga terdapat stereotip dalam mengembangkan ide-ide beritanya. Namun mengapa media lebih menekankan stereotip negatif pada kaum tertentu dan bagaimana caranya mempertahankan representasi positif?

Stereotip tertentu muncul di media karena media menangkap realitas tersebut di masyarakat. Maka penting bagi pekerja media untuk sensitif terkait dengan stereotip-stereotip negative yang tidak tepat. Misalnya ketika media menempatkan lebih banyak SDM laki-laki yang tidak punya kesadaran kesetaraan dan yang ditangkap oleh para pekerja adalah masyarakat yang masih melanggengkan ideology patriarki maka stereotip itu pula yang banyak muncul melalui media tersebut. Untuk lebih memahami tema kali ini, mari kita melihat pengertian stereotip terlebih dahulu.

A.  Pengertian Stereotip
Orang Jawa digambarkan sebagai orang yang halus, menerima apa adanya dan pemaaf. Sedangkan orang Batak digambarkan sebagai pekerja keras, tempramen, dan lugas mengatakan sesuatu sejelas mungkin. Anekdot tersebut memberikan gambaran bahwa manusia dalam menilai orang lain, terutama yang bukan bagian atau diluar komunitasnya, disadari atau tidak seringkali terjebak dalam stereotip dan overgeneralisasi budaya dan menyebabkan kekeliruan pemahaman dalam komunikasi. Definisi stereotip adalah sebuah pandangan atau cara pandang terhadap suatu kelompok sosial dimana cara pandang tersebut lalu digunakan pada setiap anggota kelompok tersebut. Kita memperoleh informasi biasanya dari pihak kedua atau media, sehingga kita cenderung untuk menyesuaikan informasi tersebut agar sesuai dengan pemikiran kita. Stereotip bisa berkaitan dengan hal positif atau negative, stereotip bisa benar atau salah, stereotip bisa berkaitan dengnn individu atau subkelompok. Stereotip juga digunakan oleh manusia sebagai bagia dari mekanisme pertahanan diri untuk menyembunyikan keterbatasan kita atau untuk membenarkan perasaan kita yang rapuh tentang superioritas. Stereotip dapat membawa ketidakadilan sosial bagi mereka yang menjadi korban, dan jika terjadi, maka akan memunculkan pertanyaan terkait etnisitas.

B.  Mengapa Muncul Stereotip ?
Alasan mengapa timbul stereotip:
1.      Manusia butuh sesuatu untuk menyederhanakan realitas kehidupan yang bersifat kompleks
2.      Manusia butuh untuk menghilangkan rasa cemas (anxiety) Ketika berhadapan dengan sesuatu yang baru dan menggunakan stereotip.
3.      Manusia butuh cara ekonomis untuk membentuk gambaran dari dunia sekitarnya
4.      Manusia tidak mungkin mengalami semua kejadian yang menyebabkan manusia mengandalkan informasi dari pihak lain (media) sebagai jendela dunia. Maka akhirnya terjadilah stereotip.

Menurut Alvin Day munculnya stereotip karena sifat manusia yang selalu mencari kesamaan atas sesuatu yang kemudian streotip menjadi content hiburan dan informasi massal. Menurut Lippmann, stereotip merupakan cara untuk melihat dunia secara keseluruhan. Manusia bergantung pada testimoni orang lain untuk memperkaya pengetahuannya mengenai lingkungan sekitar karena individu tidak bisa mengalami suatu dua peristiwa yang berbeda tempat secara bersamaan.

Media berfungsi sebagai telinga dan mata untuk mengamati dunia sekitar di mana kita tidak dapat mengalaminya secara langsung. Media menghasilkan stereotip yang berperan besar terhadap diskriminasi, gangguan, kekerasaan terhadap kelompok tertentu, dan penggambaran gender dalam dunia nyata. Media harus bisa membedakan antara stereotip dengan dunia nyata. Menurut Lippmann pola stereotip itu tidak netral karena meliputi berbagai persepsi personal mengenai realitas, maka hal tersebut sangat bertanggung jawab terhadap pembentukan perasaan kita. Selain itu stereotip juga merupakan mekanisme pertahanan diri yang akan membuat kita merasa aman dalam posisi kita apa adanya. Terakhir, streotip juga sebagai proses netral yang mempunyai peran dalam menjaga kesehatan jiwa.

Masyarakat egaliter memandang stereotip sebagai sesuatu yang tidak adil (fair) karena akan menutup ruang untuk melihat individu dengan segala keunikan dan kapabilitas masing-masing. Dalam lingkup kelompok, penggunaan stereotip akan menghilangkan hak individu untuk menentukan diri sendiri, di mana hak merupakan nilai dasar dari pembentukan stereotip. Maka dari itu, stereotip memiliki nilai negatif, yaitu:
1.      Melanggar nilai-nilai kejujuran dan ketulusan
2.      Tidak fair karena meniadakan perbedaan dan potensi individu
3.      Mengarahkan pada kebohongan
4.      Stereotip pada media mengakibatlan audiens berpikiran sempit
Namun, tidak semua stereotip itu salah karena kadangkala stereotip itu memang berdasarkan kebenaran realita yang terjadi.

C.  Peran Stereotipe dalam Komunikasi
Pemahaman tentang masyarakat massa sempat mengguncang persepsi anggota masyarakat mengenai dampak media massa yang cukup signifikan dalam mengubah tata sosial masyarakat. Dalam perkembangan teori komunikasi massa, konsep masyarakat massa mendapat relasi kuat dengan prosuk budaya massa yang pada akhirnya akan memengaruhi bagaimana proses komunikasi dalam konteks masyarakat massa membentuk dan dibentuk oleh budaya massa yang ada. Pertanyaannya adalah sejauh mana hubungan antara masyarakat massa dengan produk budaya massa yang ada?

Media massa sendiri dalam masyarakat mempunyai beberapa fungsi sosial, yaitu: (1) Fungsi pengawasan media adalah fungsi yang khusus menyediakan informasi dan peringatan kepada masyarakat tentang apa saja di lingkungan mereka. (2) Fungsi interpretasi adalah fungsi media yang menjadi sarana memproses, menginterpretasikan, dan mengorelasikan seluruh pengetahuan atau hal yang diketahui oleh manusia. (3) Fungsi transmisi nilai adalah fungsi media untuk menyebarkan nilai, ide dari generasi satu ke generasi lainnya. (4) Fungsi hiburan adalah fungsi media untuk menghibur masyarakat.

Seiring perkembangannya, media massa memiliki funsi-fungsi baru, yaitu membentuk komunitas dan komunikasi virtual, seperti halnya kelompok pada internet. Internet dapat menyepurnakan transaksi komersial, menyediakan dukungan sosial, dan mengirim jasa pemerintahan. Beberapa kajian sosial menyarakan bahwa media massa, masyarakat, budaya massa, dan budaya tinggi secata stimultan saling berhubungan satu sama lain. Dengan proses pertimbangan yang perlu diperhatikan. Pertama, perkembangan media sampai pada satuan kecil masyarakat membuat kita harus membuat sikap baru dan lebih kompleks terhadap terminologi sosial tradisional yang diyakini masyarakat.

Kedua, perkembangan media massa baru seperti televisi sempat mengubah persepsi sosial masyarakat karena pengaruhnya yang sedemikian dahsyat Ketiga, proses transisi baru yang dialami oleh masyarakat menuntut kita untuk memperbaharui konsep sosial yang sudah ada. Keempat, maka diperkukan sistesa baru yang mengatasi kelemahan atau kekurangan konsep masyarakat dab sistesa baru yang mengatasi konsep pluralisme dan otoritarianisme modernisasi.

Konten media dalam semua bentuk; berita, hiburan, iklan, terkait dengan stereotipe. Stereotipe merupakan alat untuk mengkonstruksi realitas untuk disebarkan kepada audiens. Stereotipe bagi masyarakat adalah alat untuk memahami lingkungan sekitar dan bagi media merupakan jendela bagi individu melihat dunia luar. Efek awal dari stereotipe dalam media adalah terjadinya diskriminasi dan prejudice. Dalam masyarakat plural, praktisi media memiliki kewajiban untuk mendorong perwujudan nilai-nilai keadilan dalam sistem sosial.

D.  Stereotip Ras Minoritas
Di Amerika Serikat, ras minoritas terkait dengan masyarakat kulit hitam dan suku Indian, yang sering digambarkan masyarakat kelas dua, kriminalis dan terbelakang. Selain itu, penggambaran Islam sebagai teroris. Di Indonesia, stereotip sering terkait dengan suku Tiong Hoa, sebagai kelompok yang tidak memiliki nasionalise, licik dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Warga Tiong Hoa masih belum lepas dari stereotip tertentu yang dilekatkan kepada mereka. Pemberitaan pers yang diskriminatif semaki memperkuat pencitraan buruk terhadap warga Tionghoa. Untuk stereotip minoritas seperti warga Tionghoa ini, Stuart Hall menganggap bahwa “ada yang salah” dengan representasi kelompok minoritas dalam media, bahkan ia meyakini imaji – imaji yang dimunculkan oleh media semakin buruk.

Media cenderung sensitif pada gaya hidup kelas menengah ke atas. Media semakin mengagungkan institusi masyarakat, di mana masyarakat kulit hitam bermasalah dalam area kekuasaan sensitif itu; pekerjaan, diskriminasi publik, perumahan, legalisasi parlemen pemerintahan lokal, hukum dan polisi. Hall menyebutkan “representasi sebagai konstitutif”, representasi tidak hadir sampai setelah direpresentasikan, representasi tidak terjadi setelah sebuah kejadian. Representasi adalah  konstitutif dari sebuah kejadian. Representasi adalah bagian dari objek itu sendiri, ia adalah konstitutif darinya. Bahasa adalah medium yang menjadi perantara dalam memaknai sesuatu, memproduksi dan mengubah makna, Bahasa juga mampu melakukan semua ini karena ia beroperasi sebagai sistem representasi. Makna sesuatu hal sangat tergantung dari cara kita “merepresentasikannya”. Ada kesulitan tersendiri ketika ingin membalikkan stereotip negative dan sebagaimana juga sulit untuk mempertahankan representasi positif.

E.   Stereotip Wanita
Media sering menggambarkan wanita sebagai sosok yang kurang rasional, bodoh, namun kadang juga sebagai pribadi yang tegas dan mandiri. Terjadinya ketidakadilan gender dalam pemberitaan perempuan di media massa tidak bisa dilepaskan dari posisi perempuan dalam masyarakat. Banyak stereotip negatif mengenai perempuan misalnya stereotip janda sebagai sosok yang tidak baik, perempuan yang merokok, dan mengenai kecantikan.

Masyarakat masih memegang stereotip bahw laki – laki berada di wilayah kiri (aktif, beradab, rasional, dan cerdas) sedangkan perempuan di wilayah kanan (pasif, dekat dengan alam, emosional dan kurang cerdas). Iklan – iklan yang membuat standar tubuh permepuan ideal membuktikan bagaimana laki – laki (lebih banyak di bagian produksi iklan) menciptakan perempuan untuk sesuai dengan fantasi mereka tentang “perempuan sexy atau cantik”. Model – model perempuan adalah obyek yang dikreasi untuk mencapai fantasi tersebut, sedangkan laki – laki adalah penciptanya. Tidak hanya iklan, stereotip oposisi biner menempatkan perempuan pada posisi yang dirugikan, dimana ini terjadi dalam media seni.

Stereotip sangat merugikan perempuan yang tidak hanya dalam iklan tetapi juga masuk ke wilayah seni. Namun, dibandingkan dengan media iklan, media seni ternyata juga dapat menjadi alat untuk mendobrak stereotip itu sendiri. Dalam media seni kita bisa melakukan semangat kebebasan dibandingkan dengan media iklan.

F.   Stereotipe Orang dengan Orientasi Seksual Menyimpang
Homoseksualitas hingga saat ini digambarkan oleh media dan masyarakat sebagai kejahatan dan karenanya tidak boleh diberi ruang untuk berkembang. Padahal dalam konteks kebebasan, maka lesbian dan gay adalah pilihan. Pernyataan-pernyataan yang sering diangkat bahwa menjadi seorang gay atau lesbian adalah penyakit atau abnormal, menyebabkan individu-individu pencinta sesama jenis kerap terganggu dengan orientasi seksual yang dimilikinya dan seringkali berusaha untuk menyukai lawan jenisnya atau dengan kata lain berusaha untu menjadi seorang heteroseksual. Selain itu, perasaan-perasaan seperti tidak disukai, cemas dan sedih menjadi permasalahan yang harus dihadapi hampir tiap harinya. Konflik ini kemudian menyebabkan perasaan kesepian, malu, dan despresi.

Kenyataannya kemudian juga menimbulkan peningkatan jumlah alkoholisme dan pemakaian zat terlarang lain pada gay dan lesbian remaja. Diantara keresahan dan kegelisahan yang dialami teman-teman gay dan lesbian itu, ada pula yang tidak merasa terganggu oleh orientasi seksual dan tidak berusaha untuk mengubah dirinya menjadi seorang heteroseksual. Berdasarkan hasil penelitian, gay dan lesbian yang seperti ini justru mampu mencapai tingkat pendidikan, ekonomi, pekerjaan sama tingginya dengan orang-orang heteroseksual, bahkan kadang lebih tinggi. Karena mereka menerima dan tidak terganggu secara psikis dengan orientasi seksual mereka, sehingga mampu menjalankan fungsi sosial dan seksualnya secara efektif.

G.    Stereotipe Agama
Stereotipe tentang agama diantaranya adalah pelabelan Islam sebagai agama teror. Paus Benedictus XVI misalnya pernah mengatakan bahwa makna jihad dalam Islam dan penyebaran Islam dengan pedang. Kontan, sejumlah pemimpin Islam mengecam keras dan menganggapnya sebagai anti-islam meski sudah adal klarifikasi dari Vatikan, umat Islam tetap marah.

Diyakini bahwa Islam disebarkan oleh pedang, ini adalah stereotipe lama yang sudah dibantah oleh orientalis sekelas Bernard Lewis. Ia mengatakan bahwa umat Islam tidak mungkin berperang dengan tangan kanan memegang pedang dan tangan kiri memegang Al-Qur’an karena Al-Qur’an adalah kitab suci yang hanya bisa dipegang oleh tangan kanan. Hingga kini stereotipe Islam dan kekerasan masih problemastis, dan kiat menguat setelah kejadian kasus peledakan WTC pada 11 September. Ditambah kasus lainnya yaitu isu terorisme di Indonesia yang melalui serangkaian peledakan bom, stereotipe ini tidak dapat dihindarkan. Padahal pelaku dari aksi tersebut adalah kelompok minoritas yang sama sekali tidak menggambarkan umat islam secara garis besar. Stereotipe menjadi masalah yang sangat penting dalam masyarakat majemuk.

H.  Melawan Stereotip
Produksi pesan yang ditujukan bagi pelanggengan diskriminasi dan prejudice tidak dapat dibenarkan atas pertimbangan etika. Setidaknya ada tiga pendekatan terhadap hal ini, yaitu:
1.      Deontologis
Aliran ini digagas oleh Immanuel Kants yang menekankan pada pelaksanaan tugas dari tiap individu, sehingga rasisme dan prejudice bukan lagi sebagai pertimbangan universalitas standar sikap. Deontologis memeriksa motif yang ada pada agen moral, tanpa melihat konsekuensi yang spesifik digariskan oleh stereotip.

2.      Teleologis
Aliran ini menekankan pada konsekuensi dari sebuah keputusan. Teleologis tidak melihat konsep penyampaian pesan, karena bagi aliran ini belum tentu pesan yang disampaikan berasal dari kemurnian moral. Stereotip bagi aliran ini adalah tindakan yang tidak adil sekaligus menyerang segmentasi sosial, karenanya stereotip mesti ditolak. Yang diperlukan adalah pertimbangan sisi positif dan sisi negative dari penyampaian gambaran suatu kelompok.

3.      Golden Mean
Pendekatan ini sangat berguna ketika karakter yang distereotipkan justru merepresentasikan beberapa individu dalam suatu kelompok. Praktisi komunikasi harus berhati – hati, yakni tidak menggunakan gambaran yang ada untuk menilai keseluruhan kelompok, namun juga tetap mengapresiasi diversitas individu. Praktisi komunikasi harus berusaha menjaga keseimbangan antara individu dan kelompok dimana individu tersebut berada.




---




Referensi : 
Mufid, Muhamad. (2009). Etika dan Filsafat Ilmu Komunikasi. Jakarta : Kencana Prenamedia Group.




Comments

Popular Posts