DARI KONTROVERSI KIM JONG UN HINGGA LATAHNYA BERITA INDONESIA


“Dari Kontroversi Kim Jong Un hingga Latahnya Berita Indonesia”
By : Iftikareen R Soeyatno (2018041058)

Sebagai rakyat Indonesia, kita bisa merasakan bagaimana latahnya media-media massa di Indonesia. Begitu bulan Maret lalu seluruh fokus media massa berubah menjadi Corona dan perkembangannya di Indonesia. Kemudian penghujung April tahun 2020 muncullah fokus baru yaitu ‘Mempertanyakan Eksistensi Kim Jong Un’. Walau fokus berita ini tidak menggantikan Corona di peringkat satu, sebagai berita yang setiap hari akan diluncurkan oleh seluruh media massa. Apakah ini hanya politik ditengah merebaknya wabah Corona di Dunia? Berita mengenai kematian pemimpin Korea Utara ini pertama kali diluncurkan oleh media Internasional, yaitu International Business Times. Dan menyatakan bahwa terakhir kali Kim terlihat di area publik saat memimpin pertemuan para petinggi Dewan Politbro Partai Buruh pada 11 April. Wakil direktur kanal Hong Kong Satelit TV mengklaim bahwa Kim Jong Un meninggal, yang kemudian diperkuat keterangan pakar semenanjung Korea, Jang Sung-min. Chairman The World and Northeast Asia Peace Forum itu menyiratkan kepercayaan bahwa kabar itu benar (IBTimes, 2020). Kemudian dengan cepat informasi tersebut menyebar keseluruh penjuru  dunia, dan menjadi sebuah berita yang seakan-akan nyata. Begitu juga dengan media massa di Indonesia. Media saling berlomba mengisahkan situasi ini seolah-olah menjadi fakta. Entah untuk menggugurkan kewajiban menyebar berita, atau malah terselubung misi pihak otoriter saja.

Sumber foto : Nikkei Asian Review

Kondisi ini dapat kita katakan ‘latahnya berita Indonesia’.  Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, Latah adalah meniru-niru sikap, perbuatan, kebiasaan orang atau bangsa lain (KBBI, 2020). Pada dasarnya latah adalah sebuah tindakan yang netral adanya, namun dapat menjadi positif ataupun negatif tergantung daripada orang yang melakukannya. Perlu saya garis bawahi bahwa latah yang dimaksudkan pada tulisan ini ialah latah yang menyebabkan kemudaratan. Pada prinsipnya latah dalam media ialah ujung pangkal dari terciptanya berita-berita yang tidak valid. Karena, media dengan mudah menyebarkan berita serupa tanpa melakukan pengecekan kembali terkait fakta yang akan disebarkan. Tentu pada dasarnya orang yang latah menyebarkan berita ia telah lupa akan substansi dari sebuah etika dan filsafat komunikasi. Hal ini sangat mendasar, dan berkaitan karena menyangkut integritas dari media. Yang mana dalam buku etika dan filsafat komunikasi karya Muhamad Mufid telah dijelaskan dengan rinci dalam beberapa bagiannya yaitu terkait kebenaran, kebebasan dan tanggung jawab pesan, serta konflik kepentingan dan budaya populer. Merujuk dari beberapa chapter yang mendukung tulisan ini, saya berpendapat bahwa sesungguhnya orang yang latah menyebarkan berita ialah orang yang pada dasarnya tidak tahu kebenaran itu apa. Terlepas dari adanya konflik kepentingan, jika orang tersebut memahami secara mendasar apa itu kebenaran. Tentu sebagai jurnalis ia akan patuh kepada kode etik jurnalistik terkhusus pada pasal 3, yaitu “Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah” (Pramisti, 2016). Ketika wartawan selalu menguji informasi yang akan ia sebarkan, maka ia akan selalu melakukan pengecekan ulang terhadap berita yang akan diunggahnya. Kemudian jika kita lihat dari sudut pandang kebebasan dan tanggung jawab pesan. Wartawan tentu akan mengacu dengan kebebasan ia membuat berita dan menyampaikan informasi seluas-luasnya. Namun, yang harus harus selalu diingat bahwa kebebasan memiliki pasangan tanggung jawab pesan. Apalagi bagi negara yang menganut sistem pemerintahan Demokrasi seperti Indonesia, kebebasan berpendapat diatur dalam Hak Azasi yaitu hak atas kebebasan mengemukakan pendapat (Budiarjo, 2002). Kita harus terus mempertimbangkan posisi kita sebelum mengeluarkan pendapat, karena kita juga memegang tanggung jawab penuh atas pendapat yang telah dikeluarkan. Banyak pihak yang hanya terfokus pada bagian kebebasan berpendapat, ia tidak menyadari bahwa kebebasan tersebut juga didampingi oleh tanggung jawab atas muatan pesannya. Faktor lain yang membuat latahnya berita di Indonesia, ialah konflik kepentingan dan budaya populer. Kita sudah tidak bisa menutup mata dan telinga, bahwa konflik kepentingan berada di peringkat satu mengalahkan kebenaran. Kebenaran sekarang sudah dikaburkan demi mengedepankan kepentingan segelintir kelompok saja. Entah dengan motif ekonomi, sosial, maupun lainnya kepentingan seperti ini tidak akan memberikan kebenaran yang utuh. Terjadinya skema posttruth yang membuat khalayak tidak tahu lagi mana yang benar dan mana yang salah.
Jika kita kembali pada tema dan judul dari tulisan ini, saya terinspirasi dari berita meninggalnya Kim Jong Un yang simpang siur di media. Dan kemudian dalam masa mencari fakta mengenai Kim, saya terhanyut dalam paparan tulisan media yang terkesan seperti tidak bertanggung jawab. Terlebih lagi jika dibandingkan dengan judul yang diberikan atas tiap artikelnya. Seperti hanyaa ‘aji-mumpung’ mengikuti trend belaka. Jauh dari kata ingin memberikan fakta, malah media hanya berspekulasi saja. Lalu buat siapa kode etik jurnalistik dibuat? Namun, hal itu juga yang membuat saya memilih judul “Dari Kontroversi Kim Jong Un hingga Latahnya Berita Indonesia”. Judul ini terinspirasi penuh dari perjalanan saya mengobservasi media Indonesia terkini. Dari bagaimana mereka membuat judul yang tidak saling berkaitan, kemudian tidak memberikan fakta, hingga membuat saya menyimpulkan latahnya berita di Indonesia. Kemudian alur dari tulisan ini juga saya pilih mengikuti alur campur, agar latar belakang saya sisipkan ditengah-tengah tulisan. Penting buat saya menjelaskan terlebih dahulu mengenai kasus Kim Jong Un, kemudian membatasi pengertian latah yang saya maksud. Fokus saya dalam tulisan ini tentu sebagai kritik bagi media di Indonesia, contoh yang saya ambil yaitu berita meninggalnya Kim Jong Un menjadi contoh berita terhangat yang bersinggungan dengan latahnya media menyampaikan informasi. Terlepas dari susahnya mendapatkan fakta terkhusus untuk mencari informasi atas eksistensi pemimpin Korea Utara tersebut, media harusnya mengedepankan integritasnya dalam menyebarkan berita. Tentu bukan hal yang mudah untuk mendapatkan fakta apalagi tulisan yang memiliki nilai berita. Berita Kim Jong Un hanyalah salah satu contoh terbaru latahnya media Indonesia yang diangkat pada tulisan ini. Bagaimana akhirnya dampak dari kelatahan tersebut membuat khalayak mengartikan inkonsistensi media. Bertebaran contoh kasus selain Kim di luar sana, namun sebagai konsumen berita Indonesia saya sangat menyayangkan hal ini juga terjadi di Indonesia.
Seorang jurnalis yang bijak pernah berkata pada saya, di era 4.0 ini kita harus selalu think before share. Namun tidak sampai disitu saja dia memberikan eksplanasi akan kata ‘think’. Ternyata think adalah sebuah konsep yang dibuatnya agar bisa menangkal kelatahan di media. Yang mana think terdiri atas t=truth (kebenaran), h=humanity (kemanusiaan), i=inspiring (menginspirasi), n: necessery (perlu), k:kind (ramah dan sopan). Tentu hal pertama dan mendasar ialah kita harus mengutamakan kebenaran, jangan sampai wartawan menyebarkan berita yang tidak benar. Kemudian poin yang harus dipertimbangkan kembali, ialah faktor kemanusiaan, jangan sampai wartawan menyebarkan berita yang tidak berperi kemanusiaan. Hal penting lainnya ialah seorang wartawan harus terus berinovasi agar menghasilkan berita yang  bermanfaat, yang mana apabia berita-beritanya bermanfaat tentu dapat menginspirasi khalayak baik dengan tulisannya serta dengan tindakannya. Kemudian wartawan harus mempertimbangkan seberapa perlu berita ini diunggah dan seberapa perlu orang-orang mendapatkan berita tersebut. Dan yang terakhir ialah konsep kebaikan yang  dikhususkan ramah dan sopan. Pada awalnya saya berpikir bahwa konsep ini tentu sudah ajeg dalam kehidupan sehari-hari kita, namun apa hubungannya dengan teknis sebagai jurnalis. Namun, ternyata disitulah awal mula kelatahan terjadi yaitu karena orang-orang tidak lagi ada menanamkan konsep kebaikan seperti ramah dan sopan dalam menyambungkan tugasnya dan dirinya sebagai makhluk sosial. Tentu bukan hal yang mudah untuk memahami kelima konsep di atas, namun percayalah bahwa konsep di atas adalah salah satu konsep yang menakjubkan bila kita melaksanakannya. Apabila anda bukan seorang jurnalis, maka lakukanlah konsep di atas sebagai pedoman anda dalam menyampaikan informasi kepada teman, sahabat, keluarga anda. Tentu kita akan terus melakukan recheck kebenaran dari suatu berita, kemudian memikirkan faktor-faktor kemanusiaan sebelum menyebarkan informasi. Juga selalu menanamkan perasaan ingin memberi inspirasi, sehingga akan memberikan apa yang diperlukan oleh sekitar anda. Dan terakhir tidak pernah meninggalkan konsep ramah dan sopan.
Setelah memahami konsep ‘think’ ini saya kemudian teringat dengan konsep-konsep yang juga ada dalam buku Etika dan Filsafat Komunikasi, dimana kebenaran selalu menjadi fondasi utama. Ternyata konsep-konsep ini saling berkaitan, bahkan saling menguatkan. Kita juga harus mengutamakan kepentingan umum, dengan meminimalisir adanya konflik kepentingan. Karena, konflik kepentingan juga menjadi penghalang yang besar dalam menyajikan kebenaran kepada khalayak. Kita juga harus terus mengingat bahwa kebebasan yang diberikan dalam memuat pesan, juga didampingi tanggung jawab penuh atas pesan tersebut. Jadi apabila jurnalis mengindahkan hal-hal di atas tentu berita di Indonesia akan jauh dari latah dan memiliki integritas yang tinggi. Karena jika kita lihat kasus Kim Jong Un kembali,  bagaimana latahnya wartawan Indonesia juga memberitakan terkait kematian Kim.  Apabila itu adalah sebuah fakta, tentu khalayak harus mengetahui informasi kematian salah satu pemimpin negara tersebut. Namun, nyatanya berita mengenai Kim sekarang terus berubah menjadi tanda tanya besar, mengenai eksistensinya. Maka dapat disimpulkan bahwa latah dalam menyebarkan berita tentu akan memengaruhi integritas dari media yang menyebarkan. Seharusnya media-media massa di Indonesia jauh dari independen dalam menyampaikan informasi. Dan tentu untuk memperbaiki situasi, kita dapat bersama-sama mengaplikasikan konsep think yang saya jabarkan di atas.

Maju terus jurnalisme Indonesia,
Panjang umur jurnalis-jurnalis hebat !


----------


References

Achmadi, A. (2005). Filsafat Umum. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Budiarjo, P. (2002). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
IBTimes. (2020, 04 24). Kim Jong Un's Death Will Lead To 'Chaos, Human Suffering'; Dictator's Sister Is Possible Successor. Retrieved from International Business Times: https://www.ibtimes.com/kim-jong-uns-death-will-lead-chaos-human-suffering-dictators-sister-possible-2964305
KBBI. (2020, 05 05). KBBI Daring. Retrieved from KBBI Kemdikbud : https://kbbi.kemdikbud.go.id/
Mufid, M. (2009). Etika dan Filsafat Ilmu Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenamedia Group.
Pakar Budaya dari Lembaga Javanologi. (2007). Menggali Filsafat dalam Budaya Jawa. Jakarta: Prestasi Pustakarya.
Pramisti, N. (2016, Mei 16). Kode Etik Jurnalistik. Retrieved from tirto.id: https://tirto.id/kode-etik-jurnalistik-8Nb
Soekanto, S. (2006). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.










Comments

Popular Posts