2. KEBENARAN DALAM ETIKA DAN FILSAFAT



Setelah dalam unggahan sebelumnya membahas mengenai filsafat dan perkembangan ilmu komunikasi, maka pada unggahan ini, tim penulis akan berbagi materi mengenai kebenaran dalam etika dan filsafat komunikasi. Jantung dari Etika dan Filsafat Komunikasi ialah Kebenaran. Karena tujuan utama dari Etika dan Filsafat Komunikasi tidak lain untuk mencari kebenaran. Seperti perkembangan ilmu komunikasi yang telah kita pelajari sebelumnya, pengetahuan terus berkembang mengikuti kebenaran yang juga terus diungkap. Kebenaran lahir dari penciptaan esensial yang terarah atas seluruh hal eksistensial. Lalu “apa yang dimaksud dengan terarah pada penciptaan pengetahuan esensial atas setiap hal dan pengetahuan eksistensial daripada segala sesuatu dalam keterikatan yang utuh?

Dalam membuktikan kebenaran di filsafat kita membutuhkan metode penelitian. Metode penelitian mempunyai ikatan subjek peneliti. Dan dalam penelitian juga mencari kebenaran serta kejelasan fenomena yang sedang teliti. Fenomena adalah hal yang eksistensial. Setelah mendapatkan hasil penelitian dari situ kita mendapat hasil yang esensial. Dari serangkaian cara di atas ialah sebuah proses terarah untuk menghasilkan kebenaran. Agar dapat lebih memahami esensi dari kebenaran, maka kita harus mengetahui lebih dahulu definisi dan seluruh aspek dari kebenaran.

A.  Pengertian Kebenaran
Kebenaran adalah suatu hal yang sangat sulit untuk didefinisikan dalam kata-kata. Karena kebenaran berdasar pada apa yang diyakini. Secara etimologi kata “benar” mempunyai arti:
1.         Tidak salah, lurus, dan adil.
2.         Sungguh-sungguh, tidak bohong.
3.         Sesungguhnya, memang demikiannya halnya.
4.         Sangat, sekali.

Sedangkan, secara epistemologi kebenaran dapat dilihat dari berbagai teori mengenai kebenaran yaitu :
1.      Teori Koherensi : sesuatu dianggap benar apabila sejalan dengan pengetahuan, teori, preposisi, atau hipotesis lainnya.
2.      Teori Korespondensi : sesuatu dianggap benar jika ia berhubungan dengan objek yang dituju oleh pernyataan itu.
3.      Teori Pragmatis : sesuatu dianggap benar jika konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia.
4.      Teori Koherensi : sesuatu dianggap benar bila ia berkaitan dengan pernyataan sebelumnya yang sudah pasti benar.

B.  Kebenaran Ilmiah dan Kebenaran Non-Ilmiah
Kebenaran ilmiah dapat ditemukan dan diuji dengan pendekatan pragmatis, koresponden, dan koheren. Berbeda dengan kebenaran ilmiah, ada juga kebenaran karena faktor – faktor non – ilmiah. Di antaranya ; kebenaran karena kebetulan yang tidak dapat diandalkan karena kadang sering tertipu dengan kebetulan yang tidak bisa dibuktikan, kebenaran karena akal sehat bahwa hukuman fisik merupakan alat utama pendidikan, kebenaran agama dan wahyu merupakan kebenaran mutlak dan asasi dari Tuhan, kebenaran intuitif yang didapat dari proses luar sadar tanpa menggunakan penalaran dan proses berpikir, kebenaran karena trial dan error yang diperoleh karena mengulang – ngulang pekerjaan, baik metode, teknik, materi dan parameter – parameter sampai akhirnya menemukan sesuatu, kebenaran spekulasi karena adanya pertimbangan meskipun kurang dipikirkan secara matang, kebenaran karena kewibawaan yang diterima karena pengaruh kewibawaan seseorang (ilmuwan, pakar, ahli dalam suatu bidang), dan terakhir kebenaran karena kekuasaan yaitu sesuatu menjadi salah atau benar karena adanya intervensi kekuasaan.

C.  Kebenaran Filsafat
Kebenaran filsafat harus memenuhi empat objek yang terkait dengan kebenaran (Suparno Suparlan, 2007: 93-94) yaitu:
1.      Objek materi, filsafat mempelajari semua hal sehingga filsafat itu bersifat umum yang tidak terkait dengan jenis objek tertentu.
2.      Objek forma, kebenaran ilmu pengetahuan filsafat bersifat metafisika, mulai dari konkret-khusus sampai abstrak-universal.
3.      Metode, terarah pada penciptaan pengetahuan esensial atas setiap hal dan pengetahuan eksistensial daripada segala sesuatu dalam keterikatan yang utuh.
4.      Sistem, kebenaran bersifat dialektis, terarah pada keterbukaan untuk ide dan pengetahuan baru untuk memperjelas kebenaran.

D.  Kebenaran Sebagai Nilai Fundamental
Komitmen terhadap kebenaran merupakah salah satu nilai fundamental dalam kehidupan manusia yang telah ada sejak dahulu kala. Menurut Immanuel Kant, kebenaran adalah sesuatu yang harus ditegakkan, apapun resiko yang ada.

E.   Makna Penting Kebenaran
Dalam teori interaksi simbolis hakikat manusia adalah maluk relasional. Interaksi itu sendiri membutuhkan simbol-simbol tertentu. Simbol misalnya Bahasa, tulisan, dan symbol lainnya yang dipakai-bersifat dinamis dan unik. Penafsiran yang tepat atas simbol tersebut turut menentukan arah perkembangan manusia dan lingkungan. Keterbukaan individu dalam mengungkapkan dirinya merupakan hal yang tidak dapat diabaikan dalam interaksi simbolik. Segala bentuk apriori mesti dihindari dalam menginterpretasikan simbol yang ada. Ini penting supaya unsur subyektif dapat diminimalisir sejauh mungkin. Sehingga demikian, kebenaran pun sejatinya merupakan rumusan bersama sebagai hasil interaksi sosial. Pertama, ketiadaan integritas dalam komunikasi antarmanusia akan berbuntut pada penggusuran otonomi individu. Alasan kedua pentingnya komitmen kebenaran adalah bahwa kebenaran menunjukkan rasa menghargai orang lain sebagai tujuan, bukan sebagai alat (tool). Dalam konteks sosial, kepercayaan merupakan prasyarat terbentuknya ikatan sosial. Terakhir, kebenaran merupakan unsur yang esensial bagi kelancaran proses demokrasi.

Dalam ruang publik politis, masyarakat sipil melangsungkan diskursus publik dalam berbagai bentuk da nisi. Pluralisme keyakinan dan pendapat ini sering berkontroversi satu sama lain, dari yang memiliki niveau yang rendah sampai yang tinggi. Karena komunikasi publik mengikuti norma argument yang lebih baik, kualitas suara akan lebih menentukan daripada kuantitasnya. Apakah sebuah argument yang lebih baik, kualitas suaranya akan lebih menentukan dari kuantitasnya. Apakah sebuah argument yang lebih baik akan mendapatkan mayoritas suara atau tidak, akan banyak ditentukan oleh kualitas publik itu sendiri.

F.   Dikotomi Kebenaran dalam Komunikasi
Jaringan komunikasi yang berskala global telah menggiring ke arah proses komunikasi dan arus informasi yang kecepatannya tumbuh  secara eksponensial telah mengondisikan pola komunikasi yang berlangsung secara cepat, ringkas, instan dan padat.

·         Menuju Teori Disinfromasi
Media komunikasi di abad informasi digital berkembang ke arah sebuah. Yang didalamnya terjadi pelencengan fungsi komunikasi dan informasi berkembang ke arah sifat superlatif yang diproduksi dalam porsi berlebihan. Kebenaran dalam media massa menjadi hal yang krusial karena kebenaran versi media kadang kala berbeda dengan kebenaran versi masyarakat. Dalam jurnalistik, terdapat konsep yang mendasari kebenaran dalam me report. Pertama, harus melaporkan berita secara akurat dengan cara melakukan verifikasi fakta sehingga diperoleh bukti yang valid. Kedua, jurnalis perlu melakukan upaya pencerdasan dengan cara mendorong pemahaman audiens. Ketiga, laporan harus bersifat fair dan seimbang, seorang jurnalis haruslah menguasai materi yang dilaporkan sehingga tidak muncul ambiguitas. Dalam buku yang berjudul “The Elements of Journalism: What Newspeople Should zknow and the Public Should Expect” (2001), menerangkan bahwa masyarakat butuh prosedur dan proses guna mendapatkan apa yang disebut kebenaran fungsional.

Dikotomi lain pada media adalah kebenaran dalam iklan. Iklan mengkonstruksi kebenarannya sendiri untuk kemudian digandakan secara massal dan terus-menerus sehingga pada akhirannya masyarakat melihat konstruksi kebenaran yang ditawarkan oleh iklan merupakan kebenaran itu sendiri. Iklan menjungkir balikkan apa yang sebelumnya merupakan kebutuhan (needs) bagi masyarakat untuk kemudian diubah menjadi keinginan (want). Etika dalam periklanan sendiri mengatakan bahwa pengiklan memiliki tanggung jawab atas kebenaran informasi tentang produk yang diiklankan. Termasuk ikut memberikan arahan, batasan dan masukan pada iklan agar tidak terjadi janji yang berlebihan atas kemampuan nyata suatu produk.




---





Referensi : 

Mufid, Muhamad. (2009). Etika dan Filsafat Ilmu Komunikasi. Jakarta : Kencana Prenamedia Group.

Comments

Popular Posts